Sabtu, 13 Mei 2017

PENGECUALIAN PERJANJIAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL DALAM HUKUM PERSAINGAN USAHA


Dani Amran Hakim
Jurnal Ilmu Hukum
Volume 9 No. 4 Tahun 2015
 E-mail: daniamranhakim@yahoo.com
Mahasiswa Universitas Diponegoro
Semarang


Abstrak
Hukum persaingan usaha di negara Indonesia mengenal adanya pengecualian (exemption) untuk menegaskan bahwa suatu aturan hukum dinyatakan tidak berlaku bagi jenis pelaku tertentu ataupun prilaku/kegiatan tertentu. Hukum persaingan usaha pada umumnya memberikan pengecualian atas dasar perjanjian, misalnya perjanjian hak kekayaan intelektual (HKI). HKI merupakan insentif dan alasan diberikan hak monopoli dan proteksi karena HKI membutuhkan sumber daya dan waktu dalam upaya mendapatkannya, berdasarkan Pasal 50 huruf b UU Persaingan Usaha. Pengecualian berdasarkan Pasal 50 huruf b UU Persaingan Usaha tersebut dijabarkan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dengan mengeluarkan Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 2 Tahun 2009 tentang Pengecualian Penerapan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak  Sehat Terhadap Perjanjian yang Berkaitan Dengan Hak Atas Kekayaan Intelektual Ruang lingkup pengaturan berdasarkan PerKom Nomor 2 Tahun 2009 adalah : (1) perjanjian lisensi yang berada dalam lingkup hak paten, hak merek, hak cipta, hak desain industri, hak desain tata letak sirkuit terpadu, dan hak rahasia dagang, (2) merek dagang dan merek jasa, (3) desain tata letak sirkuit terpadu.

Kata Kunci : Pengecualian, Hak Atas Kekayaan Intelektual, Hukum Persaingan Usaha

Pendahuluan
      A.    Latar Belakang
Perkembangan di dalam aktivitas ekonomi saat ini, setiap individu, lembaga, atau perusahaan tentunya memiliki target bisnis masing-masing untuk mendapatkan keuntungan, sehingga berbagai upaya dilakukan dengan mengelaborasikan sumber daya yang dimilki untuk meraih kepuasan maksimal. Karena hal itu, maka munculah istilah persaingan usaha di antara mereka dalam menjalankan aktifitas ekonominya. Salah satu masalah yang dihadapi oleh perusahaan dan dunia usaha pada umumnya adalah adanya persaingan.
Berbagai kegiatan ekonomi atau aktifitas bisnis dapat dipastikan terjadinya persaingan (competition) di antara pelaku usaha. Pelaku usaha akan berusaha menciptakan, mengemas, serta memasarkan produk yang dimiliki baik barang/jasa sebaik mungkin agar diminati dan dibeli oleh konsumen. Persaingan dalam usaha dapat berimplikasi positif, sebaliknya, dapat menjadi negatif jika dijalankan dengan perilaku negatif dan menyebabkan tidak kompetitifnya kegiatan ekonomi.
Berdasarkan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa sistem ekonomi yang dianut negara adalah ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi yang bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial sebagai cita-cita pembangunan ekonomi. Korelasi yang muncul kemudian dalam menyusun kebijakan perekonomian negara harus senantiasa berusaha menghilangkan ciri-ciri negatif yang terkandung dalam sistem ekonomi liberal dan sistem ekonomi sosialisme, yaitu free fight liberalism yang membenarkan eksploitasi terhadap manusia, etatisme di mana negara beserta aparaturnya meminimumkan potensi dan daya kreasi unit ekonomi di luar sektor negara, dan pemusatan ekonomi pada salah satu kelompok yang bersifat monopoli yang merugikan masyarakat.
Kekuatan ekonomi yang kokoh merupakan landasan utama suatu negara di belahan dunia manapun, apabila suatu negara atau bangsa memilki tingkat atau ekonomi yang kuat berarti negara tersebut memilki kedaulatan yang sejajar dengan negara lain. Untuk menuju ketatanan negara yang berdaulat secara ekonomi, maka diperlukan kesinergisan antara pemerintah dan masyarakat dalam membangun political will tentang pengelolaan ekonomi. Negara merupakan pihak yang memiliki kewenangan dalam meletakan dasar-dasar aturan yang mendukung dan dapat melindungi pertumbuhan serta aktifitas kegiatan ekonomi.
Dunia bisnis di Indonesia saat ini berkembang tanpa batas sehingga mampu menerobos dimensi kehidupan dan perilaku perekonomian manusia. Adanya persaingan dalam dunia bisnis memberikan manfaat yang tidak sedikit bagi kehidupan, namun untuk memberikan sisi negatif dari persaingan, perlu dibuat aturan yang jelas, sehingga persaingan dapat berjalan dengan baik atau dengan kata lain tercipta suatu level playing field, yang membuat pelaku-pelaku usaha kecil tetap dapat menjalankan usaha di samping pelaku-pelaku usaha besar tetap dapat menjalankan usahanya.
 Perkembangannya kemudian munculah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Persaingan Usaha) sebagai instrumen kelengkapan hukum yang mendorong terciptanya efisiensi ekonomi dan iklim kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha selain itu juga sebagai rambu-rambu untuk memagari agar tidak terjadi praktik-praktk ekonomi yang tidak sehat dan tidak wajar. Undang-Undang Persaingan Usaha inilah yang kemudian juga mengatur mengenai ketentuan perjanjian-perjanjian yang dilarang.
Selain mengatur mengenai ketentuan perjanjian-perjanjian yang dilarang, hukum persaingan usaha juga mengenal adanya pengecualian (exemption) untuk menegaskan bahwa suatu aturan hukum dinyatakan tidak berlaku bagi jenis pelaku tertentu ataupun hukum dinyatakan tidak berlaku bagi jenis pelaku tertentu ataupun perilaku/kegiatan tertentu. Oleh sebab itu diperlukan adanya suatu acuan yang dipergunakan untuk pengecualian apakah suatu kegiatan, industri/badan, pelaku usaha yang bagaimanakah yang dikecualikan dari pengaturan hukum persaingan usaha. Pemberi pengecualian dalam hukum persaingan usaha umumnya didasarkan pada beberapa pertimbangan, antara lain : a) adanya istruksi atau perintah dari UUD 1945; b) adanya instruksi atau perintah dari UU ataupun peraturan perundangan lainnya; dan c) instruksi atau pengaturan berdasarkan regulasi suatu badan administrasi.
Ketentuan pengecualian terhadap perjanjian dalam hukum persaingan usaha berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual (HKI) seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang. Pasal 50 huruf b UU Persaingan Usaha mengecualikan perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba.

      B.     Rumusan Masalah
     Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk mengkaji mengenai pengaturan pengecualian perjanjian hak kekayaan intelektual dalam hukum persaingan usaha dengan rumusan masalah sebagai berikut : 
    1. Bagaimanakah hubungan antara hukum hak kekayaan intelektual dan hukum persaingan usaha? 
   2. Bagaimanakah pengaturan pengecualian perjanjian hak kekayaan intelektual dalam hukum persaingan usaha?

      C.     Batasan Masalah
          Dalam penelitian ini yang menjadi suatu batasan pengecualian yaitu Pasal 50 huruf  UU Persaingan Usaha. Pasal 50 huruf b UU Persaingan Usaha mengecualikan perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian  yang berkaitan dengan waralaba. 

Metode Penelitian
      A.    Subjek dan Objek Penelitian
Subjek Penelitian
Undang-Undang hukum persaingan usaha pada umumnya memberikan pengecualian atas dasar perjanjian, misalnya perjanjian Hak Kekayaan Intelektual (HKI). HKI merupakan insentif dan alasan diberikan hak memonopoli dan proteksi karena HKI membutuhkan sumber daya dan waktu dalam upaya mendapatkannya. Undang-Undang HKI sendiri menjamin bahwa penemuan paten dan lain-lain akan diberikan perlindungan sebelum dapat menjadi milik publik (public domain). Faktor ini menjadi penentu bagi perusahaan karena insentif ini dianggap sebagai jalan menguasai pasar tetapi tidak merupakan pelanggaran undang-undang.

Objek Penelitian
Hukum persaingan usaha di negara Indonesia mengenal adanya pengecualian (exemption) untuk menegaskan bahwa suatu aturan hukum dinyatakan tidak berlaku bagi jenis pelaku tertentu ataupun perilaku/kegiatan tertentu. Hukum persaingan usaha pada umumnya memberikan pengecualian atas dasar perjanjian, misalnya perjanjian hak kekayaan intelektual (HKI).

      B.     Populasi dan Sampel
Dalam Convention Estabilishing The World IntelectualProperty Organization, HKI dibagi dalam dua kelompok substansi, yaitu hak cipta dan hak atas kekayaan industri. Bidang kedua mencakup paten, merek, desain industri, dan rahasia dagang. Hak cipta seringkali ditempatkan terpisah dengan hak kekayan industri, didasarkan pada pemikiran karena bidang hak cipta yang berobjek karya seni, ilmu pengetahuan, dan karya sastra tidak ada kaitannya dengan masalah industri. Berbeda dengan paten dan merek yang mendukung serta dekat kaitannya dengan kegiatan industri.

      C.     Data dan Variabel
Data
Pasal 50 huruf b UU Persaingan Usaha mengecualikan perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba. Selama beberapa dekade pasar di Indonesia sangat dipengaruhi oleh pemberian hak khusus kepada sekelompok pengusaha tertentu dan demikian juga pada saat yang bersamaan pemerintah mempunyai kebijakan untuk memproteksi usaha kecil dan menengah yang didasarkan pada interpretasi Pasal 33 UUD Tahun 1945. Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 (UU Persaingan Usaha) juga bertujuan untuk meningkatkan efisiensi nasional melalui pengalokasian sumber daya dengan berlandaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.

Variabel
Terdapat keterhubungan antara hukum persaingan usaha dengan hak atas kekayaan intelektual. Sepintas mungkin terlihat bahwa keberadaan konsepsi HKI dengan hukum persaingan usaha seakan-akan saling bertentangan satu sama lain, namun kedua dominan hukum tersebut memiliki sifat komplementer atau saling mengisi untuk keharmonisan sistem hukum itu sendiri, yakni  meningkatkan efisiensi sistem perekonomian. Untuk memerkuat posisi pengawasan persaingan usaha dan sebagai pintu harmonisasi antara rezim lisensi hak atas kekayaan intelektual (HKI) dan hukum persaingan usaha, ditetapkanlah Pasal 50 huruf b No. 5 Tahun 1999.

      D.    Alat Analisis
Demi memperkuat posisi pengawasan persaingan usaha dan sebagai pintu harmonisasi antara rezim lisensi hak atas kekayaan intelektual (HKI) dan hukum persaingan usaha, ditetapkanlah Pasal 50 huruf b No. 5 Tahun 1999. Pada pasal tersebut dijelaskan bahwa perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten, merek, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba dikecualikan dari ketentuan UU No. 5 Tahun 1999.

Ringkasan Pembahasan
      A.    Pengecualian Dalam Hukum Persaingan Usaha
Persaingan dalam mekanisme pasar adalah berlaku bagi setiap pelaku pasar tanpa terkecuali. Hukum persaingan usaha melindungi mekanisme proses persaingan tanpa mempertimbangkan siapakah yang menjadi pelakunya dengan tujuan yang baik agar alokasi sumber daya menjadi efisien. Mekanisme pasar yang berjalan melalui persaingan yang sehat dan fair serta konsisten dengan tujuan distribusi yang adil diharapkan mampu mencapai efisiensi nasional serta kesejahteraan umum. Disamping itu hukum persaingan usaha diharapkan mampu mengawasi terjadinya diskriminasi harga, pemerataan informasi pasar bagi yang kurang mampu mempunyai akses, kesempatan atau akses kepada modal, teknologi dan berbagi kesempatan berusaha lainnya. Tetapi bila berbagai tujuan yang baik untuk mendukung mekanisme pasar ini tidak berhasil di capai, maka dapat berakibat pada kegagalan mekanisme pasar yang kemungkinan dilakukan oleh pelaku pasar yang bertentangan dengan prinsip persaingan usaha yang sehat.
Pada umumnya kebijakan persaingan dipengaruhi oleh berbagai pertimbangan misalnya: adanya perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual (HKI), perdagangan, perlindungan terhadap usaha kecil atau menengah serta kepentingan nasional terhadap perekonomian yang dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Hukum persaingan usaha juga mengenal adanya pengecualian (exemption) untuk menegaskan bahwa suatu aturan hukum dinyatakan tidak berlaku bagi jenis pelaku tertentu ataupun perilaku/kegiatan tertentu. Untuk itu perlu kita mengetahui alasan apakah yang menjadi dasar pertimbangan diberikannya pengecualian dalam undang-undang hukum persaingan usaha. Pada umumnya pengecualian yang diberikan berdasarkan 2 alasan, yaitu : 

      1. Industri atau badan yang dikecualikan telah diatur oleh peraturan perundang-undangan atau deregulasi badan pemerintah yang lain dengan tujuan  memberikan perlindungan khusus berdasarkan kepentingan umum (public interests), misalnya: transportasi, air minum, listrik, telekomunikasi, dan lain-lain. 
     2. Suatu industri memang membutuhkan adanya perlindungan khusus karena praktek kartel tidak dapat lagi dihindarkan dan dengan pertimbangan ini maka akan jauh lebih baik memberikan proteksi yang jelas kepada suatu pihak dari pada menegakkan undang-undang hukum persaingan usaha itu sendiri.

      B.     Hubungan Antara Hukum Hak Kekayaan Intelektual dan Hukum Persaingan Usaha
Hukum persaingan usaha adalah elemen esensial sehingga dibutuhkan adanya undang-undang sebagai “code of conduct” bagi pelaku usaha untuk bersaing di pasar sesuai dengan aturan undang-undang. Negara berkepentingan bahwa kebijakan persaingan adalah ditujukan untuk menjaga kelangsungan proses kebebasan bersaing itu sendiri yang diselaraskan dengan freedom of trade (kebebasan berusaha), freedom of choice (kebebasan untuk memilih) dan access to market (terobosan memasuki pasar). Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 (UU Persaingan Usaha) juga bertujuan untuk meningkatkan efisiensi nasional melalui pengalokasian sumber daya dengan berlandaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.
Terdapat keterhubungan antara hukum persaingan usaha dengan hak atas kekayaan intelektual. Sepintas mungkin terlihat bahwa keberadaan konsepsi HKI dengan hukum persaingan usaha seakan-akan saling bertentangan satu sama lain, namun kedua dominan hukum tersebut memiliki sifat komplementer atau saling mengisi untuk keharmonisan sistem hukum itu sendiri, yakni  meningkatkan efisiensi sistem perekonomian. Untuk memperkuat posisi pengawasan persaingan usaha dan sebagai pintu harmonisasi antara rezim lisensi hak atas kekayaan intelektual (HKI) dan hukum persaingan usaha, ditetapkanlah Pasal 50 huruf b No. 5 Tahun 1999.
Dapat disimpulkan bahwa hukum HKI dan hukum persaingan usaha dianggap sebagai ketentuan hukum yang bersifat komplementer atau saling mengisi untuk keharmonisan sistem hukum nasional Indonesia. Kesamaan yang dimilki oleh kedua rezim hukum tersebut diantaranya ialah pada tujuannya, yaitu untuk memajukan sistem perekonomian nasional di era perdagangan bebas dan globalisasi, mendorong inovasi dan kreatifitas serta untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Walaupun pada kenyataannya HKI dapat memberikan hak eksklusifitas sebagai insentif dari penemuan HKI tersebut.

      C.     Pengaturan Pengecualian Perjanjian Hak Kekayaan Intelektual dalam Hukum Persaingan Usaha
           Perjanjian sebagimana diatur dalam definisi yang dirumuskna pada Pasal 1 angka 7 diartikan sama dengan perbuatan, artinya perjanjian yang dilakukan oleh pelaku usaha. Dalam hukum persaingan, hak kekayaan intelektual (HKI) maupun waralaba sering dianggap bersifat paradoks karena memberikan hak untuk memonopoli secara ekslusif yang bahkan dilindungi oleh undang-undang. Sementara itu, UU Persaingan Usaha berupaya mengatur agar monopoli yang diizinkan haruslah seimbang dan tidak dieksploitasi.
           HKI sering menjadi topik yang kontroversial dalam hukum persaingan usaha karena hak monopoli yang diberikannya adalah legal sesuai dengan ketentuan undang-undang. HKI memberikan beberapa nilai ekonomi pada pemilik atau penemunya yaitu:
  • Sebagai hak milik yang bersifat alamiah atau natural
  • Sebagi insentif di mana penemu atau pemilik berhak menerima kompensasi sebagai keberhasilan usaha mereka yang menguntungkan konsumen
  •  Sebagai kelanjutan insentif di mana penemu atau pemilik akan terus melakukan penemuan atau peningkatan terhadap temuan awalnya
      HKI merupakan benda yang bersifat tidak berwujud sehingga perlu mendapat pelindungan hukum, kalau tidak maka penumpang gelap (free rider) akan menggunakan kesempatan utuk menikmat hasil temuannya tanpa perlu mengeluarkan biaya. Oleh sebab itu, pencegahan dapat dilakukan dengan jalan:
  • Memberikan hak yang dilakukan oleh pemerintah maupun peraturan perundang-undangan
  • Menjamin hal para penemu untuk melindungi penemuannya, kebebasan untuk menjual, menyewakan temuan atau haknya termasuk menikmati keuntungan yang bersifat ekslusif.
Daftar Pustaka
  • At-Tariqi, Abdullah Abdul Husain. 2004. Ekonomi Islam: Prinsip Dasar dan Tujuan, Yogyakarta: Magistra Insani Press.
  • Bork, Robert H. 1978. The Antitrust Paradox, A Policy at War with Itself, New York: Basic Books Inc.
  • Brazier, Roderick Brazier dan Sianipar, Sahala. 1999. “Undang-Undang Antimonopoli Indonesia dan Dampaknya Terhadap Usaha Kecil dan Menengah” The Asia Foundation.
  • Edwards, Corwin D. 1949. Maintaining Competition Requisites of a Governmental Policy, 1st ed, McGraw Hill Book Company, Inc .
  • Graham, Edward M. and Richardson, J. David. 1997. Global Competition Policy, Institute for International Economics, Washington DC.
  • Harjowigdo, Rooseno. 2005. Perjanjian Lisensi Hak Cipta Musik dalam Pembuatan Rekaman, Jakarta: Perum Percetakan Negara Republik Indonesia.
  • Hill, Hall. 2000. The Indonesian Economy Since 1966, 2nd ed. England: Cambridge University Press.
  • Jorde, Thomas, et all. 1996. Gilbert Law Summaries-Antitrust, 9th ed. Harcourt Brace Legal and Professional Publications. Inc.
  • Khemani, R.S, A Framework for the Design and Implementation of Competition Law and Policy, World Bank and OECD.
  • Lubis, Andi Ahmad, Dkk. 2009. Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks, Jakarta: Creative Media.
  • Purba, Zen Umar. 2000. Peta Mutakhir Hak Kekayaan Intelektual Indonesia Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Departemen Kehakiman dan Hak Azasi Manusia.
  • Redjeki Hatono, Sri. 2007. Hukum Ekonomi Indonesia, Malang: Bayumedia.
  • Reksohadiprodjo, Sukanto dan Gito Sudarmo, Indriyo. 1988. Managemen Produksi, Yogyakarta: BPFE UGM. Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum Volume 9 No. 4, Oktober-Desember 2015. ISSN 1978-5186 427
  • Rosyadi, A. Rahmad dan Ngatino. 2000. Arbitrase Islam dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
  • Sutedi, Adrian. 2009. Hak Atas Kekayaan Intelektual, Jakarta: Sinar Grafika,
  • Sullivan, L. A. 1977. Antitrust. Minessota: West Publishing, Co.
  • Soelistyo, Henry. 2011. Hak Cipta Tanpa Hak Moral, Jakarta: Rajawali Press.
  • Sirait, Ningrum Natasya, dkk. 2010. Ikhtisiar Ketentuan Hukum Persaingan Usaha, Jakarta: The Indonesia Netherlands National Legal Reform Program.
  • Wiradiputra, Ditha, Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia, Modul, DIKTI, Jakarta 14 Desember 2004.
  • Yani, Ahmad dan Widjaja, Gunawan. 1999. Seri Hukum Bisnis Anti Monopoli, Jakarta: Rajawali Press.
 
AGNES BLOG Blogger Template by Ipietoon Blogger Template